Setiap
daerah memiliki sejarah dan karakter masing-masing, memiliki asal-usul
atau hari jadinya, Di propinsi NTB terdapat beberapa daerah seperti
Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten
Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten
Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Kota Bima, Kota Mataram yang tentu
saja daerah-daerah ini memiliki sejarahnya masing-masing.
Sebagaimana yang telah di posting terdahulu yaitu tentang sejarah daerah
bima, maka pada kali ini lintas mbojo ingin berbagi informasi dalam
mengulas kembali dan sekedar mengingatkan kembali kenangan-kenangan masa
lalu daerah dompu yang sejarahnya sebagai berikut ini:
Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia, Kabupaten Dompu, Propinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB), mempunyai catatan sejarah tersendiri. Seperti
halnya Sejarah Kesultanan Lombok, Sejarah Kesultanan Sumbawa, dan
Sejarah Kesultanan Bima,
Dompu dahulu kala juga merupakan salah satu daerah bekas kerajaan atau
kesultanan. Kerajaan Dompu merupakan salah satu kerajaan yang paling tua
khususnya di Indonesia Bagian Timur. Arkeolog dari Pusat Balai
Penelitian Arkeologi dan Purbakala, Sukandar dan Kusuma Ayu dari
berbagai hasil penelitiannya menyimpulkan Dompu atau (Kerajaan Dompo)
adalah kerajaan yang paling tua di wilayah timur Indonesia.
Berdasarkan catatan sejarah di Dompu, sebelum terbentuknya kerajaan di
daerah tersebut, telah berkuasa beberapa kepala suku yang disebut
sebagai “Ncuhi” atau raja kecil. Ncuhi terdiri atas empat orang yakni
Ncuhi Hu`u yang berkuasa di daerah Hu`u (sekarang Kecamatan Hu`u), Ncuhi
Soneo yang berkuasa di daerah Soneo dan sekitarnya (sekarang Kecamatan
Woja dan Dompu). Selanjutnya Ncuhi Nowa berkuasa di Nowa dan sekitarnya
serta Ncuhi Tonda berkuasa di Tonda (sekarang wilayah Desa Riwo
Kecamatan Woja Dompu). Dari keempat Ncuhi tersebut yang paling dikenal
adalah Ncuhi Hu`u.
Menurut cerita rakyat dompu di negeri Woja berkuasa seorang Ncuhi Kula
yang mempunyai anak perempuan bernama Komba Rawe. Ncuhi tersebut
kemudian dikenal dengan nama Ncuhi Patakula. Cerita rakyat setempat
menyebutkan, putra raja Tulang Bawang terdampar di daerah Woja dalam
pengembaraannya, tepatnya di wilayah Woja bagian timur. Kemudian putra
raja Tulang Bawang tersebut menikah dengan putri Ncuhi Patakula.
Selanjutnya para Ncuhi sepakat menobatkan putra raja Tulang Bawang
sebagai raja Dompu yang pertama. Sedangkan Raja Dompu ke-2 bernama Dewa
Indra Dompu yang lahir dari perkawinan antara putra Indra Kumala dengan
putra Dewa Bathara Dompu. Berturut-turut Raja yang menguasai daerah ini
adalah Dewa Mbora Bisu, yang merupakan Raja Dompu yang ke-3. Raja ke-4
Dompu adalah Dewa Mbora Balada, yang merupakan saudara dari Dewa Mbora
Bisu dan Dewa Indra Dompu. Pada abad XIX di Dompu saat itu memerintah
raja-raja yang lemah. Kerajaan dikacaukan oleh berbagai pemberontakan
pada tahun 1803 yang memaksa pihak residen campur tangan,Sultan Abdull
Azis, putra Sultan Abdullah yang kemudian mengganti Sultan Yakub,
ternyata tidak mampu banyak berbuat untuk memajukan kerajaannya.
Seluruh kerajaan antara tahun 1810-1814 diancam perompak-perompak yang
menghancurkan desa-desa yang ada di wilayah Dompu saat itu. Pada sekitar
tahun 1809 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan Gubernur Van Kraam
untuk memperbaharui perjanjian dengan Dompu. Perjanjian tersebut
diadakan di Bima. Pada 5-12 April 1815, ketika Gunung Tambora meletus,
akhirnya sepertiga dari penduduk tewas dan sepertiga lainnya berhasil
melarikan diri. Sultan Abdull Rasul II memindahkan Istana Bata yang
merupakan Situs Doro Bata yang terletak di kelurahan Kandai I Kecamatan
Dompu ke Istana Bata yang baru, karena itu dia disebut dengan gelar Bata
Bou. Beliau diganti oleh putranya, Sultan Muhammad Salahuddin.
Salahuddin mengadakan perbaikan dalam sistem dan hukum pemerintahaan.
Dia pun menetapkan hukum adat berdasarkan hasil musyawarah dengan para
alim ulama, sekaligus menetapkan hukum adat yang dipakai adalah hukum
Islam yang berlalu di wilayah kekuasaannya. Dalam menjalankan
pemerintahaannya, Sultan dibantu oleh majelis adat serta majelis hukum.
Selanjutnya mereka (para pembantu itu) disebut manteri dengan sebutan
raja bicara, rato rasanae, rato perenta, dan rato Renda. Mereka
tergabung suatu dewan hadat, dan merupakan badan kekuasaan yang
mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Sultan.
LETUSAN TAMBORA
Gunung Tambora yang meletus pada 10 – 11 April 1815, dalam catatan
sejarah Dompu, mengakibatkan tiga kerajaan kecil (Pekat, Tambora, dan
Sanggar) yang terletak di sekitar Tambora tersebut musnah. Ketiga
wilayah kerajaan kecil itu pun kemudian menjadi bagian dari Kerajaan
Dompu. Pertambahan wilayah Kesultanan Dompu tersebut dinilai merupakan
suatu pertanda kelahiran baru bagi Dompu Baru, yakni pergantian antara
Dompu Lama ke Dompu Baru. Peristiwa tersebut menggambarkan kelahiran
wilayah Dompu yang bertambah luas wilayahnya. Ahli sejarah Helyus
Syamsuddin mengungkapkan, peristiwa 11 April 1815 tersebut akhirnya
dijadikan sebagai hari kelahiran Dompu, yang kemudian dikuatkan dengan
Peraturan Daerah No.18 tanggal 19 Bulan Juni 2004.
LETUSAN TAMBORA, SEBUAH MISTERI LAHIRNYA DOMPU BARU
Seperti di daerah lain Lombok,Sumbawa dan Bima, Dompu dahulu kala juga
merupakan salah satu daerah bekas Kerajaan atau Kesultanan. Bahkan konon
Kerajaan Dompu merupakan salah satu Kerajaan yang paling tua khususnya
di bagian Indonesia Timur. Arkeolog dari Pusat balai penelitian
arkeologi dan Purbakala Drs.Sukandar dan Dra. Kusuma ayu pada saat
melakukan penelitian di Dompu beberapa waktu lalu pernah menyatakan
bahwa dari berbagai hasil penelitiannya di Dompu dapat disimpulkan bahwa
Dompu (Kerajaan DOMPO-Red) adalah Kerajaan paling tua diwilayah Timur
Indonesia.
Namun sayang, tidak seperti di Lombok,Sumbawa dan Bima dimana untuk
mengetahui lebih jauh tentang Kerajaan tempo dulu ketiga daerah tetangga
tersebut banyak didukung oleh berbagai bukti otentik yang dapat
menggambarkan tentang peristiwa sejarah tempo dulu,sedangkan di Dompu
bukti otentik untuk mendukung keberadaan sejarah masa lalu tampaknya
masih sangat kurang sekali bahkan bisa dikatakan hampir sudah tidak ada
sama sekali. Barangkali inilah merupakan salah satu tugas dan kewajiban
khususnya bagi kalangan generasi muda di daerah ini untuk lebih bekerja
keras agar berbagai tabir misteri sejarah tempo dulu dapat segera
terungkap meskipun hal itu membutuhkan perjuangan dan usaha yang cukup
menyita waktu bahkan material sekalipun. Upaya pemkab Dompu dalam rangka
untuk mencapai hal tersebut patut kiranya didukung oleh semua
pihak,bahkan pemkab Dompu sendiri telah banyak berupaya dan tentunya
pekerjaan tersebut akan sukses apabila selalu mendapat dukungan serta
do,a restu dari seluruh lapisan masyarakat yang ada dan jangan malah
pekerjaan itu dianggap hanya akan membuang energi serta mubazir saja.
“Orang bijak mengatakan,terlalu sombong dan munafik apabila kita
melupakan sejarah kita sendiri”, semoga hal itu tidak akan pernah
terjadi, amin.
Sejarah mencatat,di dompu sebelum terbentuknya kerajaan konon didaerah
ini berkuasa beberapa kepala suku yang disebut sebagai “NCUHI” atau Raja
Kecil, para ncuhi tersebut terdiri dari 4 orang yakni Ncuhi Hu,u yang
berkuasa diwilayah kekuasaan daerah Hu,u (Sekarang kecamatan Hu,u Dompu –
Red), kemudian Ncuhi Saneo yang berkuasa didaerah Saneo dan sekitarnya
(sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan woja Dompu), selanjutnya Ncuhi
Nowa dan berkuasa didaerah Nowa dan sekitarnya serta Ncuhi Tonda
berkuasa diwilayah kekuasaannya yakni di sekitar Tonda dan saat ini
masuk dalam wilayah Desa Riwo kecamatan woja Dompu.
Diantara keempat Ncuhi tersebut yang paling terkenal konon yakni Ncuhi
Hu,u. menurut cerita rakyat yang ada bahwa,konon di negeri Woja berkuasa
seorang Ncuhi bernama “Sang Kula” yang akhirnya mempunyai seorang anak
perempuan bernama “Komba Rame”. Ncuhi ini kemudian terkenal dengan nama
Ncuhi “Patakula”. Pada saat itu konon terdamparlah putra Raja Tulang
Bawang didaerah woja yang sengaja mengembara di daerah Woja bagian
timur. Singkat cerita akhirnya putra Raja Tulang Bawang ini kawin dengan
putrid Ncuhi patakula dan selanjutnya para Ncuhi yang ada akhirnya
sepakat untuk menobatkan putra Raja Tulang Bawang tersebut sebagai Raja
Dompu yang pertama. Pusat pemerintahannya konon disekitar wilayah desa
Tonda atau di desa Riwo masuk dalam wilayah kecamatan woja sekarang.
Sedangkan Raja ke-2 Dompu adalah bernama Dewa Indra Dompu yang lahir
dari perkawinana antara putra Indra Kumala dengan putra Dewa Bathara
Dompu. Berturut-turut Raja yang menguasai daerah ini adalah : Dewa Mbora
Bisu,Raja dompu ang ke-3 adalah yaitu yang menggantikan kakaknya Dewa
Indra Dompu,cucu dari Indra Kumala. Dewa Mbora Belanda : beliau adalah
saudaranya dari Dewa Mbora Bisu dan Dewa indra Dompu yang menjadi Raja
ke-4 didaerah ini. Dewa yang punya Kuda. Pengganti Dewa Mbora Belanda
adalah putranya yang bernama Dewa yang punya Kuda dan memerintah sebagai
Raja yang ke-5,Dewa yang mati di Bima.
Raja yang dikenal sebagai seorang yang dictator,sehingga diturunkan dari
tahta kerajaan oleh rakyat Dompu ialah Dewa yang mati di Bima. Beliau
konon menggantikan ayahnya (Dewa yang punya Kuda) sebagai raja yang ke-6
di Dompu akan tetapi karena hal itu akhirnya di bawa ke Bima dan
meninggal di sana,dewa yang bergelar “Mawaa La Patu”. Raja inilah
sebenarnya yang akan di nobatkan sebagai raja Dompu yang menggantikan
dewa yang mati di Bima,namun beliau ke Bima dan selanjutnya memerintah
di sana. Pada masa pemerintahan Raja inilah terkenal satu ekspedisi dari
Kerajaan di pulau Jawa yakni kerajaan Majapahit yang konon ekspedisi
tersebut di pimpin oleh salah seorang Panglima perang bernama Panglima
Nala pada tahun 1344,namun ekspedisi tersebut ternyata gagal.
Oleh rakyat dompu raja yang satu ini sangat dikenal sebagai raja yang
disiplin dalam menjalankan pemerintahanya,teratur dalam social ekonomi
maupun politik sehingga masyarakat saat itu memberi gelar sebagai “Dewa
Mawaa Taho”, semula raja ini dikenal dengan nama “Dadela Nata”. Beliau
adalah raja yang ke-7 dan merupakan raja Dompu yang terakhir sebelum
masuknya ajaran Islam di Kerajaan Dompu,raja tersebut berkedudukan atau
bertahta di wilayah Tonda.
Ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh Panglima Nala dan di bawah
komanda Sang Maha Patih Gajah Mada mengalami kegagalan pada ekspedisi
pertama,selanjutnya menyusul ekspedisi yang ke-2 pada sekitar tahun 1357
yang di Bantu oleh Laskar dari Bali yang dipimpin oleh Panglima Soka.
Ekspedisi yang ke-2 inilah Majapahit berhasil menakklukkan Dompu dan
akhirnya bernaung di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Melihat
fenomena diatas maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan Kerajaan Dompu
tersebut ternyata sudah ada sebelum Majapahit,hal itu juga dapat
dibuktikan dalam isi sumpah Palapanya sang Gajah Mada dimana dalam
isinya sumpahnya itu disebutlah nama kerajaan DOMPO (Dompu-Red) sebagai
salah satu kerajaan yang akan di taklukkan dalam ekspedisinya tersebut.
Kesultanan Dompu.
Pada abad ke-XIX di Dompu saat itu memerintah raja-raja yang
lemah,Kerajaan di kacaukan oleh berbagai pemberontakan pada tahun 1803
yang memaksa memerlukan campur tangan pihak residen. Sejak Sultan Abdull
Azis,putra Sultan Abdullah yang mengganti Sultan Yakub tidak banyak
berbuat untuk memajukan kerajaannya. Seluruh kerajaan antara tahun
1810-1814 diancam perompak-perompak yang menghancurkan desa-desa yang
ada diwilayah dompu saat itu. Pada sekitar tahun 1809 Gubernur Jenderal
Daendels menegaskan,Gubernur Van Kraam untuk memperbaharui perjanjian
dengan Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di Bima,begitu pula
penggantinya sultan Muhammad Tajul Arifin I putra Sultan Abdull
Wahab,Sultan Muhammad tajul arifin I diganti oleh Sultan Abdull Rasul
II,adik beliau. Dari 5-12 April 1815 ketika tambora meletus akhirnya
sepertiga dari penduduk tewas dan sepertiga lainya berhasil melarikan
diri.
Sultan Abdull Rasul II memindahkan Istana Bata (ASI NTOI) kini merupakan
Situs Doro Bata yang terletak di kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu ke
Istana Bata yang baru (ASI BOU) Karena itu beliau disebut dengan gelar
“Bata Bou”, beliau diganti oleh putranya,Sultan Muhammad Salahuddin.
Salahuddin mengadakan perbaikan dalam system dan hokum
pemerintahaan,beliau menetapkan hokum adat berdasarkan hasil musyawarah
dengan para alim ulama sekaligsu menetapkan hokum adat yang dipakai
adalah hokum Islam yang berlalu diwilayah kekauasaanny. Dalam
menjalankan pemeerintahaannyaSultan dibantu oleh majelis hadat serta
majelis hokum mereka itu dalam tatanan kepangkatan hadat dan
hokum,mereka selanjutnya mereka disebut manteri-manteri dengan sebutan
“Raja Bicara,rato rasana,e, rato perenta,dan rato Renda” mereka
tergabung suatu dewan hadat,merupakan badan kekuasaan yang mempunyai
wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan sultan.
Hadat juga merupakan kelengkapan pemerintahaan yang berfungsi
menjalankan hokum agama yang di kepalai oleh “Kadi” atau sultan menurut
keperluannya. Seperti sultan-sultan sebelumnya,salahuddin tetap
melakukan hubungan dengan pihak pemerintah kolonial Belanda. Menurut
Zolinger,sejak mengadakan perjanjian dengan kompeni pada sekitar tahun
1669. selanjutnya Sultan Muhammad salahuddin diganti leh putranya yakni
Sultan Abdullah. Pada masa pemerintahaannya beliau menanda tangani
kontrak panjang pada tahun 1886 silam. Beliau Selanjutnya diganti oleh
putrannya Sultan Muhammad Siradjuddin yang memperbaharui konrak tersebut
pada sekitar tahun 1905. Sejarah juga menyebutkan bahwa Sultan pertama
di Dompu setelah adanya likuidasi pergantian pemerintahan dari sistim
Kerajaan menjadi Kesultanan yakni Sultan Syamsuddin I. Dan beliaulah
merupakan pemimpin atau Raja yang pertamakali memeluk agama Islam begitu
sistim pemerintahaannya berubah menjadi Kesultanan. Tahun 1958
Kesultanan dompu yang saat itu dipimpin oleh Sultan dompu terakhir yakni
Sultan Muhammad Tajul Arifin (Ruma To,i), sistim pemerintahan di Dompu
dirubah menjadi suatu daerah swapraja Dompu dan Kepala daerah Swatantra
tingkat II Dompu tahun 1958-1960.
Kerajaan Sanggar.
Sanggar merupakan kerajaan kecil yang terletak disebelah barat laut
Dompu disebelah timur kaki gunung tambora. Pada tahun 1805 raja sanggar
meninggal dan digantikan oleh saudaranya yakni Ismail ali Lujang. Pada
abad ke-XIX,sebelum tambora meletus dengan dahsyatnya, penduduk saat itu
berjumlah skitar dua ribu orang pada tahun 1808 dan meningkat menjadi
dua ribu dua ratus orang pada tahun 1815.
Ketika Tambora meletus pada bulan april 1815 sebagian besar penduduknya
meninggal,dan tinggal dua ratus orang saja dan karena diserang leh
perampok pada tahun 1818 mereka melarikan diri ke Banggo di Kerajaan
Dompu,dan sebagaian ke Gembe Bima. Dengan bantuan gubernurmen pada tahun
1830 mereka akhirnya kembali ke sanggar. Gubernurmen memberikan bantuan
beberapa senapan dan amunisi untuk menjaga diri dari srangan musuh.
Pada tahun 1837 penduduk Sanggar masih berjumlah sekitar tiga ratus tiga
orang dan pada tahun 1847 meningkat menjadi tiga ratus lima puluh orang
atau jiwa. Rumah raja dibuat oleh rakyatnya sendiri dengan bahan dari
kayu pilihan secara gotong – royong. Raja dan para pembesar kerajaan
saat itu tidak di gaji tetapi tanah-tanah mereka dikerjakan oleh
rakyatnya. Pada awal abad ke- XX atau sejak Belanda menguasai pulau
sumbawa secara langsung,Kerajaan Sanggar di hapus serta digabungkan
dengan kekuasaan Kesultanan Bima hingga sekarang ini.
Kerajaan Tambora.
Kerajaan Tambora yang teretak pada suatu jazirah yang pada ketiga
penjuru dibatasi oleh laut. Disebelah timur berbatasan dengan Kerajaan
Sanggar dan Kerajaan Dompu dengan luas areal wilayah 459 pal persegi.
Seluruh kerajaan berada disekitar kaki gunung Tambora (Gunung Arun).
Sebelum Tambora meletus,air sudah sangat kurang dan untuk mendapatkan
air minum penduduk saat itu menggali sumur di sekitar pantai. Rakyat
tambora hidup dari berladang atau bercocok tanam serta beternak dan
meramu.
Ladang-ladang cukup dilembabpi oleh embun dan karena itu mereka bertanam
pada sekitar bulan agustus dan panen pada bulan desember. Kekayaan yang
utama adalah ternak kuda dan hasil kayu hutan . setengah dari hasil
Gubernemen dan setengah dari kuda-kuda tersebut dikirim ke Kerajaan Bima
pada tahun 1806 dan tahun 1807 berasal dari Tambora. Menurut
Tobias,pada tahun 1808 Kerajaan Tambora berpenduduk sekitar empat ribu
iwa dan pada tahun 1815 atau setelah tambora meletus penduduk kerajaan
tambora sebagian habis tewas sebanyak tiga puluh ribu jiwa lebih. Dan
pada tahun 1816 sisa penduduk yang masih hidup akhirnya meninggal semua
karena diterjang banjir bandang dan banjir lahar,selanjutnya bekas
Kerajaan tambora yang sudah habis ditelan ganasnya alam tersebut
digabungkan dengan wilayah Kesultanan Dompu hingga sekarang ini. Bekas
Kerajaan tambora kini masuk dalam wilayah Kecamatan Pekat Dompu.
Kerajaan Papekat (Pekat).
Dimasa pemerintahan kabupaten Dompu,nama Pekat saat ini merupakan nama
sebuah desa yang terletak di wilayah kecamatan Pekat – Calabay Dompu
(Nama Ibu Kota Kecamatan Pekat) Konon nama Pekat berasal dari kata
“Pepekat”.
Kerajaan kecil ini tidak banyak meninggalkan atau menyimpan bukti-bukti
untuk mendukung keberadaan kerajaan tersebut tempo dulu bahkan hampir
dikatakan tidak ada sama sekali,hanya nama Pekat kini merupakan nama
sebuah desa di kawasan lereng gunung Tambora. Catatan sejarah
menyebutkan,meskipun suatu kerajaan kecil tetapi Pekat saat itu teraus
diijinkan berdiri oleh pemerintah penjanjah VOC terutama untuk
membendung pengaruh dari Kerajaan Makassar ang sewaktu-waktu dapat
membentuk kekuatan di situ. Maka dengan Pekat pihak VOC mengikat terus
persahabatan yang baik sekali, tetapi akibat gunung Tambora
meletus,akhirnya penduduk di Kerajaan Pekat musnah seluruhnya kemudian
bekas kerajaan Pekat digabung kan dengan wilayah kekuasaan Kerajaan
dompu hingga sekarang ini.
Gunung Tambora Meletus pada tanggal 10 – 11 April 1815, dalam catatan
sejarah Dompu letusan Tambora yang paling dahsyat yakni letusan pada
tanggal 11 April 1815 yang mengakibatkan beberapa Kerajaan kecil yang
terletak di sekitar Tambora menjadi sasaran empuk musibah tersebut
sehingga 3 Kerajaan kecil tersebut musnah. Pralaya (Malapetaka) tersebut
tampaknya di satu sisi berdampak positif bagi berkembangan Kerajaan
Dompu, sebab setelah sekian tahun lamanya dalam perkembangan selanjutnya
wilayah Kerajaan (Kesultanan) Dompu bertambah luas wilayahnya karena
bekas wilayah 3 Kerajaan kecil pernah musnah akibat letusan Tambora
tersebut akhirnya masuk kedalam wilayah Kerajaan (Kesultanan) Dompu
hingga sekarang ini. Dengan bertambahnya wilayah Kesultanan Dompu
tersebut (Pekat,Tambora dan sebagian wilayah Kerajaan Sanggar) maka
moment tersebut dinilai merupakan suatu pertanda kelahiran baru bagi
DOMPU BOU (Dompu Baru), yakni pergantian antara Dompu Lama dan Dompu
Baru. Peristiwa tersebut menggambarkan kelahiran wilayah Dompu yang
bertambah luas wilayahnya. 11 April 1815 Tambora meletus dengan
dahsyatnya, akibat letusan Tambora wilayah Dompu dikemudian hari
bertambah luasnya meliputi bekas Kerajaan Pekat, Kerajaan Tambora. DOMPU
YANG BARU pun akhirnya lahir. Oleh ahli sejarah Prof.DR.Helyus
Syamsuddin.PHd, peristiwa 11 April 1815 tersebut akhirnya dijadikan
patokan dan dasar yang kuat sehingga 11 April dijadikan sebagai hari
lahir atau hari jadi DOMPU. Selanjutnya melalui Peraturan Daerah (Perda)
No.18 tanggal 19 Bulan Juni 2004 ditetapkan bahwa tanggal 11 April 1815
sebagai hari lahir/hari jadi Dompu.
MENYUSURI JEJAK – JEJAK SEJARAH DOMPU di ambil dari website: dompukab.go.id
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !